Terdakwa Harvey Moeis, yang merupakan representasi dari PT Refined Bangka Tin (RBT), mempertanyakan keakuratan perhitungan kerugian lingkungan yang mencapai angka fantastis Rp271 triliun dalam kasus terkait penambangan timah.
Ia mengungkapkan bahwa angka tersebut diperoleh oleh seorang ahli lingkungan yang hanya melakukan dua kali kunjungan lapangan dan mengambil 40 sampel dari total area seluas 400.000 hektare. Harvey juga menyoroti bahwa perhitungan tersebut menggunakan perangkat lunak gratisan dengan akurasi yang dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Angka kerugian yang dihitung ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia, meski metodenya terkesan kurang memadai,” ujar Harvey saat membacakan pembelaannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Harvey kemudian membandingkan metode tersebut dengan pengalamannya dalam eksplorasi tambang batu bara. Dalam satu pit berukuran 10 hektare, biasanya dilakukan pengeboran dengan interval setiap 5–10 meter, sehingga mencapai lebih dari 1.000 titik pengeboran untuk memastikan akurasi perhitungan cadangan. Meski begitu, hasilnya masih memungkinkan terjadi kesalahan.
Menurut Harvey, angka Rp271 triliun berasal dari perhitungan yang dilakukan oleh Bambang Hero Saharjo, seorang ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia menegaskan bahwa jumlah tersebut tidak mencerminkan kerugian negara dalam bentuk uang tunai, melainkan kerusakan lingkungan.
"Namun, yang berkembang di publik seolah-olah ada pihak yang memperoleh keuntungan sebesar Rp271 triliun," ujarnya.
Harvey juga mengkritik metode audit yang dilakukan oleh ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Ia menyatakan bahwa audit tersebut tidak mengikuti standar audit umum, melainkan audit khusus yang hanya mengandalkan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi dan data yang disediakan oleh penyidik.
Ia menjelaskan bahwa auditor BPKP hanya menggunakan satu tabel dalam Microsoft Excel, yang dibuat oleh staf PT Timah Tbk. pada Mei 2024 untuk keperluan penyidikan oleh Kejaksaan Agung. "Data ini menjadi satu-satunya dasar untuk menyimpulkan adanya kelebihan harga kerja sama sewa smelter, yang mengakibatkan 24 orang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan," tambah Harvey.
Dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan dan tata niaga komoditas timah pada wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. periode 2015–2022, Harvey dituntut hukuman penjara selama 12 tahun dan denda Rp1 miliar. Jika denda tidak dibayarkan, maka akan diganti dengan kurungan selama 1 tahun.
Selain itu, Harvey juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar, yang apabila tidak dibayarkan akan diganti dengan pidana penjara selama 6 tahun.
Ia dinilai melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ke-1 KUHP sesuai dakwaan kesatu primer.