Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sembilan individu sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi terkait importasi gula yang melibatkan Kementerian Perdagangan pada periode 2015–2016.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin, menyatakan bahwa sembilan tersangka tersebut berasal dari pihak perusahaan swasta.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan serta alat bukti yang telah diperoleh selama proses penyidikan, tim telah memiliki bukti awal yang cukup untuk menetapkan sembilan orang sebagai tersangka," ungkapnya.
Kesembilan tersangka adalah TWN sebagai Direktur Utama PT AP, WN sebagai Presiden Direktur PT AF, AS sebagai Direktur Utama PT SUJ, IS sebagai Direktur Utama PT MSI, PSEP sebagai Direktur PT MT, HAT sebagai Direktur PT DSI, ASB sebagai Direktur Utama PT KTM, HFH sebagai Direktur Utama PT BMM, dan ES sebagai Direktur PT PDSU.
Abdul Qohar menjelaskan bahwa pada tahun 2015 telah dilakukan rapat koordinasi di bidang perekonomian, di mana salah satu topiknya adalah perkiraan kekurangan gula kristal putih (GKP) sebesar 200 ribu ton pada Januari hingga April 2016. Namun, rapat tersebut tidak menghasilkan keputusan untuk melakukan impor GKP.
Kemudian, pada November–Desember 2015, tersangka Charles Sitorus (CS), yang saat itu menjabat Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, memerintahkan manajer senior bidang bahan pokok PT PPI untuk mengadakan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta, yaitu PT AP, PT AF, PT SUJ, PT MSI, PT PDSU, PT MT, PT DSI, dan PT BMM. Pertemuan ini dilakukan sebanyak empat kali untuk menunjuk perusahaan-perusahaan tersebut sebagai pelaksana impor gula kristal mentah (GKM) yang akan diolah menjadi GKP.
"Delapan perusahaan tersebut sudah diundang sebelum ada kontrak. Mereka diberitahu bahwa akan ditunjuk untuk melaksanakan pengadaan GKM guna diolah menjadi GKP, sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas harga pasar dan stok gula nasional," jelasnya.
Pada Januari 2016, tersangka Tom Lembong menandatangani surat penugasan yang memberikan tanggung jawab kepada PT PPI untuk mengelola GKM menjadi GKP, bekerja sama dengan produsen gula domestik, dengan target produksi sebesar 300 ribu ton untuk mendukung stabilitas harga dan stok gula nasional.
PT PPI kemudian membuat perjanjian dengan delapan perusahaan tersebut untuk mengolah GKM. Kementerian Perdagangan juga menerbitkan persetujuan impor gula kepada perusahaan-perusahaan itu, meskipun ketentuan hanya memperbolehkan impor GKP secara langsung oleh BUMN. Selain itu, kedelapan perusahaan tersebut hanya memiliki izin sebagai produsen gula rafinasi.
Pada 7 Juni 2016, tersangka Tom Lembong juga memberikan izin impor tambahan sebesar 110 ribu ton GKM kepada PT KTM. Selanjutnya, gula hasil olahan ini dijual ke pasar oleh perusahaan-perusahaan swasta melalui distributor terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram, yang lebih tinggi dibandingkan Harga Eceran Tertinggi (HET) saat itu, yaitu Rp13.000 per kilogram. PT PPI sendiri memperoleh fee sebesar Rp105 per kilogram dari delapan perusahaan tersebut.
"Penerbitan izin impor GKM yang dilakukan Menteri Perdagangan saat itu, saudara TTL, kepada para tersangka dari pihak swasta, menyebabkan tujuan stabilisasi harga dan pemenuhan stok gula melalui operasi pasar tidak tercapai," lanjut Abdul Qohar.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tujuh dari sembilan tersangka telah ditahan selama 20 hari ke depan, sedangkan dua tersangka lainnya, yaitu HAT dan ES, masih dalam pencarian.