Pandemi covid-19 yang mulai berebak sejak awal Maret 2020 hingga kini, menimbulkan berbagai dampak yang luas, salah satunya di sektor usaha atau bisnis. Ada berbagai pandangan mengenai kondisi pandemi ini apakah termasuk force majeure atau bukan.
Sri Rahayu dari Sri Rahayu & Partners mengatakan, force majeure mengandung beberapa karakteristik. Pertama, penyebabnya eksternal. Kedua, tidak bisa diperkirakan/diduga sebelumnya. Ketiga, kejadian ini menyebabkan halangan besar bagi para pihak untuk melaksanakan kewajiban yang disetujui dalam kesepakatan sebelum terjadi kejadian tersebut.
Lalu, bagaimana menurut hukum Indonesia mengenai istilah keadaan memaksa tersebut? Menurut Sri, berdasarkan penelaahan beberapa literatur dan referensi, misalnya Undang-Undang nomor 22 tahun 2017 tentang jasa konstruksi, definisi diatur dalam perangkat aturan hukum nasional Undang-undang. Dalam definisi Undang-undang tersebut telah diberikan pengertian yang jelas mengenai keadaan yang memaksa. Yaitu, mencakup keadaan yang memaksa bersifat mutlak abosulut bagi para pihak sehingga baik dalam kontrak tak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya.
Hal tersebut disampaikan Sri Rahayu pada acara webinar arbitrase tematik melalui zoom yang diselenggarakan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan tema “Covid-19 : Peristiwa Force Majeure dan Penyelesaiannya melalui Arbitrase.”
Menurut Sri, bila dari KUHP Perdata, terdapat 10 unsur dilihat dari aspek contractual agreement. “Kalau kita kembali pada penyebab dan mengukur kejadian itu cukup dianggap sebagai suatu kejadian luar biasa. Pertama, keadaan tersebut adalah keadaan alam, tidak ada campur tangan manusia biasa, baik itu pihak dalam kontrak maupun secara umum di luar kekuasan kita semua.”
Kedua, lanjut Sri, bisa juga keadaan darurat dan ini bisa dilihat dari beberapa rumusan kontraktual, draft perjanjian yang menyebutkan kejadian darurat sebagai dasar force majeure. Bisa juga kebijakan atau peraturan pemerintah banyak rumusan-rumusan dalam berbagai perjanjian yang memasukkan kebijakan atu peraturan pemerintah sebagai salah satu penetapan keadaan luar biasa.
“Bagaimana akibat hukum dari kejadian luar biasa itu. Tidak adanya kewajiban untuk memberikan ganti rugi. Baik bagi pihak yang melanggar atau yang dirugikan karena kalau keduanya dirugikan ada beban risiko yang tidak berubah. Intinya, keduanya memikul risiko karena tertahan pelaksanaan dari performance. Ada sifat objektif dari performance dalam perjanjian yang tak bisa dilangsungkan oleh para pihak. Penyerahan kontrak prestasi juga tertahan,” papar Sri.
Untuk itu, perlu dilakukan renegosiasi hal-hal yang tertahan pelaksanaannya sesuai dalam perjanjian. Kemudian, memberikan hak bagi para pihak bila sudah menyerah karena hal-hal yang disebabkan kejadian itu tak bisa bilakukan perbaikan dalam kurun waktu tertentu. Maka masing-masin pihak mengakhiri perjanjian yang sudah dipersetujui.
Jadi, lanjut Sri, klausul-klausul dirumuskan secara umum dari perjanjian rumusan hukum. Intinya ada berbagai hal yang harus dicermati. Pertama, definisi kejadian itu. Kedua, klausul mengenai terminasi. Ketiga, klausul bila ada asuransi. Keempat, klausul penyelesaian sengketa atau perselisihan. Keempat, mengenai klausul pilihan hukum dan penyelesaian sengketa tersebut.
“klausul force majeure untuk coba memahami apa yang dibuat dalam perjanjian dan disepakati. Banyak sekali kontrak dibuat dengan keinginan untuk meng-capture seluruh kejadian menjadi ringkas. Tapi ada pro dan kontra, terutama pada saat pelik seperti sekarang ini, banyak pihak yang mengambil kesimpulan bahwa case of frase yang demikian itu merugikan karena memagn tak jelas dan membuat bias,” papar Sri.
Sri mencontohkan, di dunia perbankan dan keuangan, mengacu pada standar kontrak tertentu dan mengandung klausa force majeure. Demikian juga pada kontrak perdagangan internasional dan sebagainya. Jadi, tergantung dari kontrak yang dibuat dan pasti ada klausa-klausa atau rumusan dalam perjanjian itu harus dicermati.
Tak kalah penting, lanjut Sri, adalah bagaimana memitigaasi kerugian setelah jelas peristiwa dan landasan hukum, perjanjian untuk renegosiasi. “Bagaimana mitigasi kerugian karena paling terbaik adalah itikad baik untuk merumuskan kesepakatan baik misalnya mengenai perpanjangan waktu dan bagaimana jalan keluarnya.”
Menurut Sri, manajemen perjanjian perlu dilakukan dimana para pihak disarankan untuk melihat dengan detil apa yang dirumuskan, kelengkapan data, riset, bagaimanacara komunikasi yang baik pada negosiasi. “Bagaimana sistem proses yang baik dan elegan dilakukan untuk mitigasi risiko supaya tak terpuruk dan bagaimana me-maintenance hal tersebut,” papar Sri. (hil)