Pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan kapan berakhir. Untuk mengatasi kemungkinan penyebaran virus ini lebih luas, pemerintah menetapkan kebijakan PSBB sehingga masyarakat tidak dapat beraktivitas dengan leluasa seperti biasanya. Dalam dunia industri dan bisnis, hal ini dapat menimbulkan potensi terjadinya berbagai sengketa kontraktual. Lalu, bagaimana cara menyelesaikan sengketa tersebut?
Sebenarnya, Indonesia memiliki Undang-Undang Arbitrase untuk mencegah terjadinya potensi sengketa. Ada mekanisme untuk mengakomodasi masalah perbedaan penafsiran sengketa. Bila dalam proses ini tak ditemukan kata sepakat, maka masalah kontraktual dapat diproses baik dengan cara non ajudikasi ataupun ajudikasi. Non ajudikasi dapat menyelesaikan sengketa di luar pengadilan melalui cara negosiasi, musyarawat untuk mufakat.
Pada tahap negosiasi, kedua pihak bertemu untuk berembuk dan melakukan negosiasi ulang. Dalam proses negosiasi ini bila tak bisa mencapai kesepakatan bisa dibantu pihak ketiga, difasilitasi oleh mediator, sehingga masuk dalam proses mediasi atau konsiliasi. “Mediasi itu pasif. Tidak perlu menguasi bidang yang dipersengektan. Tapi punya skill sebagai mediator. Karena bersifat pasif maka tak bisa memberi rekomendasi penyelesaian sengketa. Sedangkan, konsiliasi bersifat aktif, dapat memberikan rekomendasi terkait sengketa . Hasil akhirnya adalah kesepkatan perdamaian dari para pihak,” papar
Eko Dwi Prasetiyo, International Mediation and Arbitration Center, pada acara webinar arbitrase tematik melalui zoom yang diselenggarakan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan tema “Covid-19 : Peristiwa Force Majeure dan Penyelesaiannya melalui Arbitrase”.
Eko menjelaskan, ada suatu penyelesaian di luar pengadilan tapi prosesnya hampir sama dengan pengadilan, yaitu arbitrase. Arbiter memiliki kewenangan ajudikatif, punya kewenangan memutuskan sengketa layaknya hakim, sama seperti pengadilan negeri. “Lembaga arbitrase bisa menerima permohonan pendapat yang mengikat. Hasilnya bersifat final tidak ada suatu upaya banding lagi. Arbitrase bisa menerima dari pihak-pihak tanpa ada suatu sengketa, ini disebut pra persengketaan.
Beda penafsiran suatu perjanjian saja, misal mengenai penafsiran kurang jelas, penambahan, atau penguarang hal baru, itu bisa diajukan,” papar Eko.
Terkait dengan pandemi Covid-19, tentunya kita tak menyangka akan terjadi. Maa bisa meminta mekanisme pendapat yang mengikat untu menentun baagimana suatu perjanjian akan dilaksanakan.
Pendapat yang bersifat mengikatini layaknya perjanjian. Seolah jadi bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian tersebut.
“Pengajuan permohonan perlu dilampirkan sepert dokumen, perjanjian kontrak, kemudian dalam 2-3 hari akan dikonfirmasi. Kalau permohoan itu bersifat pertanyaan terhadap penafsiran yang berbeda dan bagaimana pelaksanaan hal baru. Kalau bicara kerugian, itu termasuk sengketa dan diarahkan ke arbitrase.”
Kenapa memilih arbitrase? Pertama, lebih mengutamakan hubungan para pihak. Force majeure itu bisa timbal balik, antara krediatur atau debitur. “Bagaimana kita menutamakan hubungan antara kedua pihak. Bagaimana keadaan ini kita selesaikan bersama-sama.”
Kedua, penyelesaian lebih cepat. Para pihak butuh solusi yang cepat. Bila diselesaikan ke pengadilan, keputusan berjenjang bisa selesai 2-3 tahun. Pada proses arbitrase, para pihak juga tak perlu khawatir nama baik akan terganggu. Ada kerahasiaan yang dijaga. Kalau melalui jalur pengadilan, semua orang jadi tahu bahwa perusahaan itu mau bangkrut karena terdampak Covid-19, misalnya. Tapi bila diselesaikan melalui arbitrase, tak perlu khawatir karena bersifat tertutup. Putusan yang diambil tidak hanya secara hukum tapi juga pertimbangan bisnis. (Hilman)
<!-- [if gte mso 9]><xml>