Literasi keuangan yang baik merupakan kunci kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan.
Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Kartina Sury dalam keterangannya, mengatakan rendahnya literasi keuangan menyebabkan masyarakat berisiko membuat keputusan keuangan yang salah dan tidak sesuai dengan kebutuhan.
Dalam jangka panjang, dia mengkhawatirkan akan muncul keengganan masyarakat untuk mengonsumsi produk jasa keuangan.
"Adanya kesenjangan antara inklusi dan literasi keuangan menunjukkan bahwa sejumlah konsumen masih belum memiliki pengetahuan yang memadai terkait produk atau layanan yang mereka gunakan," ujar Kartina.
Dia mengatakan kesenjangan ini membuat masyarakat rentan terhadap keputusan keuangan yang berisiko, menanggung terlalu banyak utang, bahkan menjadi korban produk investasi bodong.
Dia menambahkan masyarakat seringkali memiliki pemahaman yang tidak lengkap tentang produk, syarat pembayaran dan bunga yang disediakan oleh lembaga jasa keuangan.
"Konsumen yang terkena dampak dari rendahnya literasi keuangan akan mengalami kesulitan membayar utang karena tingkat bunga yang tinggi dan jangka waktu pembayaran yang singkat," kata Kartina.
Selain itu, mereka juga berisiko terkena praktik pengumpulan data yang tidak etis, seperti intimidasi melalui telepon dan SMS, penggunaan data konsumen yang tidak seharusnya, distribusi data konsumen secara ilegal dan pesan yang dikirim ke daftar kontak konsumen untuk mengejar pembayaran.
Dengan demikian, dia mengatakan kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan perlu diatasi secara bersama-sama.
Menurut dia, perlu adanya integrasi antara literasi dan produk keuangan, yang mana produk dan layanan perlu dirancang untuk mendidik konsumen saat menggunakannya.
Survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2022 menunjukkan indeks inklusi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 84,2 persen dan indeks literasi keuangan hanya 49,9 persen.