Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies atau IDEAS memperkirakan kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat akibat krisis lonjakan harga minyak goreng mencapai Rp 3,38 triliun.
Direktur IDEAS Yusuf Wibisono mengatakan kerugian terakumulasi dari dua periode kenaikan yaitu Rp 0,98 triliun pada periode April – September 2021 dan Rp 2,4 triliun pada periode Oktober 2021 – 19 Januari 2022.
"Estimasi kerugian masyarakat ini diperoleh dengan menjadikan harga rata-rata minyak goreng periode Januari – Maret 2021 sebagai baseline-nya ketika harga minyak goreng masih normal," papar Yusuf dalam keterangannya, Sabtu, 12 Maret 2022.
Ia menjelaskan estimasi kerugian tersebut masih konservatif. Sebab, belum memperhitungkan periode pasca 19 Januari 2022. "Pasca 19 Januari 2022 harga minyak goreng secara resmi turun. Namun, pasokan minyak goreng murah sangat terbatas bahkan tidak tersedia di banyak tempat," ucapnya.
Dia menyebutkan selama periode kelangkaan minyak goreng yang terjadi usai pemerintah mematok Harga Eceran Tertinggi atau HET pada 19 Januari 2022, masyarakat berupaya mempertahankan konsumsi.
"Upaya masyarakat dengan terpaksa membeli minyak goreng pada harga yang lebih tinggi dari HET, maka kerugian masyarakat akan jauh lebih besar lagi," ucapnya.
Yusuf menegaskan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng sangat ironis karena Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia. "Pada 2020, luas perkebunan kelapa sawit telah menembus 14,5 juta hektar dengan produksi minyak sawit mentah atau CPO (Crude Palm Oil) di kisaran 45 juta ton," kata Yusuf.
Menurutnya, krisis minyak goreng ini harus diakhiri secepatnya. Sebab, minyak goreng kini merupakan salah satu kebutuhan pokok terpenting masyarakat, terlebih Ramadan telah di depan mata.
Ia menyebutkan, pada 2021, konsumsi minyak goreng nasional diperkirakan berada di kisaran 3,3 miliar liter dengan pengeluaran per tahun masyarakat untuk membeli minyak goreng mencapai Rp 43 triliun. "Harga beli rata-rata sekitar Rp 13 ribu per liter, " ucap Yusuf.
Dengan jumlahnya yang signifikan, kelas menengah mendominasi konsumsi minyak goreng nasional. Kelas pengeluaran per kapita tiap bulan Rp 1-3 juta yang merupakan 40,7 persen dari populasi. Mereka menyumbang hingga 46,4 persen konsumsi minyak goreng nasional.
Konsumen terbesar berikutnya adalah kelas pengeluaran Rp 400 ribu – 1 juta yang merupakan 46,9 persen dari populasi. Mereka menyumbang 42,2 persen konsumsi minyak goreng nasional.
Berangkat dari data tersebut, maka tidak mengherankan jika kemudian kerugian ekonomi terbesar akibat lonjakan harga minyak goreng akhir-akhir ini. Kerugian ekonomi ini akan ditanggung masyarakat kelas menengah.
"Konsumen rumah tangga minyak goreng di kelas pengeluaran per kapita per bulan Rp 1-3 juta dengan konsumsi per hari 4,23 juta liter, menanggung kerugian ekonomi Rp 1,57 triliun," ucap Yusuf.
Selanjutnya, kerugian terbesar dialami oleh konsumen di kelas pengeluaran Rp 400 ribu – Rp 1 juta dengan konsumsi minyak goreng per hari 3,85 juta liter, menanggung kerugian ekonomi Rp 1.43 triliun.
Yusuf mengatakan berdasarkan wilayah, kerugian ekonomi terbesar dari krisis minyak goreng dialami konsumen rumah tangga di Jawa dengan konsumsi 5,1 juta liter per hari dan menanggung kerugian Rp 1,99 triliun.
"Setelah Jawa kerugian terbesar kedua dialami oleh konsumen rumah tangga di Sumatera dengan konsumsi 2,5 juta liter per hari, menanggung kerugian Rp 0,85 triliun," katanya.
Kerugian ekonomi terbesar dari krisis minyak goreng turut dialami oleh konsumen di wilayah lain seperti Kalimantan, Sulawesi, Bali Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. " Jika ditotal dengan konsumsi 1,7 juta liter per hari, menanggung kerugian Rp 0,54 triliun," kata Yusuf.