Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memperkirakan bahwa penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk barang dan jasa mewah berpotensi menambah penerimaan negara antara Rp1,5 triliun hingga Rp3,5 triliun.
Estimasi ini merupakan hasil kajian bersama DJP dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF).
"Berdasarkan hitungan kami bersama Pak Febrio (Kepala BKF), potensi penerimaannya berada di kisaran Rp1,5 triliun hingga Rp3,5 triliun," kata Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, dalam konferensi pers terkait APBN 2024 di Jakarta pada Senin.
Pada 2025, pemerintah menargetkan penerimaan pajak mencapai Rp2.189,3 triliun, atau meningkat 13,9 persen dibandingkan proyeksi penerimaan pada 2024.
Untuk mencapai target tersebut, Suryo menjelaskan bahwa pemerintah akan terus memperluas basis pajak. Strategi ini melibatkan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak guna memastikan penerimaan negara terus bertumbuh secara berkelanjutan.
"Upaya ini terus kami jalankan, termasuk melalui kerja sama dengan Pak Askolani (DJBC), Pak Isa (DJA), serta berbagai pihak lainnya. Kami juga mencari sumber penerimaan baru yang selama ini mungkin belum terjangkau atau belum optimal dalam proses intensifikasi," ujar Suryo.
Adapun penerapan tarif PPN 12 persen untuk barang dan jasa mewah mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023 terkait Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Peraturan tersebut merinci jenis barang dan jasa yang termasuk dalam kategori mewah.
Di sisi lain, laporan dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa realisasi penerimaan pajak hingga akhir 2024 mencapai Rp1.932,4 triliun, atau 97,2 persen dari target APBN sebesar Rp1.988,9 triliun.
Meskipun belum memenuhi target, realisasi penerimaan tersebut mencatatkan pertumbuhan sebesar 3,5 persen dibandingkan dengan capaian pada tahun sebelumnya.