Sejumlah pakar ekonomi menilai bahwa rencana pemerintah untuk mengklasifikasikan mitra pengemudi ojek online (ojol) sebagai bagian dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan kompromi yang baik antara fleksibilitas kerja dan akses terhadap manfaat langsung.
Izzudin Al Farras, Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM dari Indef (Institute for Development of Economics and Finance), menyatakan bahwa ide ini bisa menjadi solusi positif bagi pengemudi dalam mempertahankan keleluasaan kerja yang selama ini dinikmati.
“Selama ada regulasi yang memastikan bahwa pengemudi ojol bisa terdaftar sebagai UMKM, mereka akan memiliki peluang untuk memperoleh manfaat seperti pelatihan literasi digital maupun keuangan,” ujar Izzudin dalam pernyataan resmi yang dikutip dari Grab Indonesia di Jakarta, Kamis.
Ia juga menambahkan bahwa dengan menjadi bagian dari UMKM, para pengemudi dapat lebih mudah mengakses program jaminan sosial yang lebih aman dan terstruktur.
Senada dengan itu, Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital di Celios (Center of Economic and Law Studies), juga mendukung wacana tersebut. Namun, ia menegaskan pentingnya pengaturan yang tepat dan berada di bawah naungan Kementerian Koperasi dan UKM.
"Karena itu, model kemitraan tidak boleh menyerupai hubungan kerja formal seperti jam kerja wajib. Regulasi perlu disusun bersama dengan asosiasi pengemudi dalam kerangka kemitraan yang setara, termasuk soal penentuan tarif," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, menyatakan bahwa usulan menjadikan pengemudi ojol sebagai pekerja tetap harus dipertimbangkan secara hati-hati dengan memperhatikan keberlangsungan sektor dan akses pekerjaan bagi masyarakat luas.
"Jika pengemudi dipekerjakan secara tetap, maka bisa terjadi pergeseran dalam keseimbangan antara fleksibilitas kerja dan inklusi ekonomi," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa mengubah status pengemudi menjadi pegawai tetap berpotensi menghilangkan karakter inklusif dari sektor ini, yang selama ini menjadi daya tarik karena dapat diakses oleh hampir semua kalangan.
Di sisi lain, Tirza Munusamy, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, mengungkapkan bahwa menjadikan mitra sebagai pegawai tetap justru bisa mengganggu ekosistem transportasi digital yang sudah terbentuk.
"Jika mitra diubah menjadi karyawan, akan ada proses seleksi, kuota tertentu, dan batasan jam kerja. Padahal sekarang siapa pun bisa langsung bergabung dan bekerja kapan saja," ucapnya.
Tirza menambahkan, jika status mitra berubah menjadi pekerja tetap, maka perusahaan harus menanggung biaya tetap yang mungkin tidak sebanding dengan permintaan pasar.
"Hal ini berpotensi meningkatkan biaya operasional dan pada akhirnya akan berdampak pada harga layanan yang diterima konsumen," tutupnya.***
Ilustrasi: Pexels/ ROMAN ODINTSOV