Kemudahan akses pembiayaan masih menjadi hal penting bagi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), bahkan dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebanyak 47 persen kebutuhan pembiayaan ke UMKM belum dapat terlayani oleh Lembaga Jasa Keuangan.
Untuk itu, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki meminta kepada seluruh lembaga jasa keuangan untuk terus memperbesar dan memudahkan pembiayaan ke UMKM, agar dapat menjangkau karakteristik pelaku UMKM yang tidak seragam. Ada Mikro, Kecil, dan Menengah.
“Pembiayaan menjadi isu penting bagi UMKM. Padahal, UMKM memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Sebagai penyedia lapangan pekerjaan, berkontribusi terhadap PDB, termasuk terhadap ekspor,” kata Menteri Teten saat menjadi pembicara kunci dalam acara BRI Microfinance Outlook 2024 bertajuk ‘Enhancing Financial Inclusion Through Regulatory Measures and Digital Transformation Strategies’ yang diselenggarakan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk di Ballroom Menara BRILiaN, Jakarta, Kamis (7/3/2024).
Hasil kajian Ernst and Young dan AFPI (2023) menunjukkan, terdapat tren peningkatan kesenjangan antara permintaan dan suplai pembiayaan UMKM pada 2026, yakni kebutuhan pendanaan sebesar Rp4.300 triliun dan pasokan hanya Rp1.900 triliun.
Selain itu, indeks Literasi Keuangan masyarakat Indonesia terus membaik dari hanya 38,03 persen di tahun 2019 naik menjadi 49,68 persen di tahun 2022. Peningkatan literasi keuangan masyarakat mengindikasikan bahwa inklusivitas keuangan negara semakin tinggi.
Namun, sebut Menteri Teten, separuh dari pelaku UMKM Tanah Air ada di sektor produktif seperti pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan. Di sektor-sektor unggulan domestik ini, justru serapan kredit UMKM masih rendah.
“Sebagai contoh di sektor pertanian 31 persen, dan perikanan baru sekitar 2 persen saja. Lalu, kemana sebagian besar kredit UMKM? Ke sektor perdagangan karena potensi Non Performing Loan (NPL)-nya rendah,” kata MenKopUKM.
Para produsen pangan petani rata-rata memiliki sekitar 0,3 hektare (ha) untuk produksi. Maka, agar petani bisa terhubung ke market/industri perlu adanya agregator, namun mereka tidak bisa menjadi ekosistem pembiayaan seperti perbankan. Sementara di India, agregator diberi kewenangan untuk membeli, dan mereka boleh mengakses dana perbankan sebesar 3 persen.
“Bank tidak mau memberikan pembiayaan ke petani kecil, karena potensi NPL tinggi, hingga potensi gagal panen. Maka, perlu ada offtaker,” ujarnya.
Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) memiliki proyek percontohan atau mini excercise di Koperasi Al-Itifaq Ciwidey, di mana terdapat 1.200 petani yang menyuplai sayuran yang awalnya 8 ton per hari menjadi 80 ton per hari ke ritel modern Superindo dan AEON.
Awalnya perbankan belum mau membiayai petani kecil, tetapi ketika disuntikkan dana bergulir ke koperasi untuk memperkuat permodalannya kemudian koperasi memberikan dana tunai ke petani sehingga mereka bisa berproduksi memasok ke pasar, bank baru mau masuk untuk memperkuat pembiayaan.
“Ini yang saya maksud. Selain soal penjaminan, asuransi, ekosistem seperti ini yang harus kita bangun. Yang awalnya dibeli tengkulak sekarang dibeli oleh koperasi, petani menjadi terencana produksi karena sesuai permintaan pasar, sehingga tak mungkin produk petani tak dibeli. Menciptakan kesejahteraan bagi petani dan produk ke industri,” kata MenKopUKM.
Ia mengungkapkan, umumnya ada tiga hal yang menyebabkan UMKM sulit mengakses kredit perbankan dan non perbankan. Pertama, tidak memiliki agunan. Dalam 2 tahun terakhir, alasan terbesar ditolaknya kredit UMKM karena tidak ada agunan pada kredit bank sebesar 59,62 persen dan pada kredit fintech/non bank sebesar 46,43 persen (Bank Indonesia, 2022).
Kedua, suku bunga kredit yang masih tinggi, yakni per tahun 2021 mencapai sebesar 8,59 persen. Sementara negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia hanya 3,45 persen dan Singapura 5,42 persen.
“Ketiga, banyak UMKM terkendala Status SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan). Prediksi Bappenas tahun 2024 kredit usaha perbankan hanya mencapai 24 persen, salah satunya disebabkan tidak lolos SLIK,” ujarnya.
Maka, kata MenKopUKM, inovasi kebijakan pembiayaan untuk UMKM perlu terus diperkuat. Seperti Skema Pembiayaan UMKM melalui Rantai Pasok sesuai amanah PP 7 Tahun 2021, untuk memberikan kepastian UMKM dapat lebih berkembang dan pembayaran kredit UMKM lebih lancar.
Perlu juga afirmasi dan kesungguhan untuk memberikan kemudahan pembiayaan sektor produktif (pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan). Seperti Jepang melalui JFC dapat menyalurkan lebih dari 60 persen ke sektor produktif.
“Perlu menyusun skema kredit skoring bagi UMKM untuk menjadi alternatif penilaian kelayakan kredit selain agunan, ada lebih 140 negara menggunakan skema ini,” kata Menteri Teten.
Sesuai UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, negara berkepentingan untuk melakukan penghapusan piutang macet UMKM di bank, hal ini bertujuan untuk memberikan kelancaran akses pembiayaan baru bagi UMKM.
“Termasuk harus ada perluasan dukungan Asuransi Penjaminan ke industri peer to peer landing (P2P) dan securities crowdfunding sebagai alternatif pembiayaan bagi UMKM,” ucapnya.***