Loading...

Terbongkar! Modus Izin Impor Palsu di Balik Peredaran Sianida Ilegal

Terbongkar! Modus Izin Impor Palsu di Balik Peredaran Sianida Ilegal

 Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Polisi Nunung Syaifuddin, menyampaikan bahwa pihaknya sedang mengusut izin impor yang digunakan oleh PT Sumber Hidup Chemindo (SHC) dalam kaitannya dengan dugaan transaksi ilegal bahan kimia berbahaya jenis sianida.

"Kami akan mendalami lebih lanjut mengenai perizinan impor yang digunakan. Ini mencakup kuota impor umum yang dimiliki importir," ujar Brigjen Pol. Nunung dalam pernyataannya di Bareskrim Polri, Jakarta, pada hari Rabu.

Menurut Brigjen Pol. Nunung, PT SHC tidak memiliki status sebagai perusahaan resmi yang diperbolehkan mengimpor sianida, sehingga seharusnya tidak memiliki izin untuk aktivitas tersebut.

Ia juga menambahkan bahwa saat ini hanya dua perusahaan yang tercatat secara resmi memiliki izin impor sianida, yaitu PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dan PT Sarinah, yang keduanya merupakan BUMN.

"Kalaupun ada perusahaan lain yang melakukan impor sianida, itu harus untuk kebutuhan sendiri dan harus mengantongi izin dari Kementerian Perdagangan," tegasnya.

Namun kenyataannya, lanjut Brigjen Nunung, PT SHC menjalankan transaksi impor dengan menggunakan dokumen milik perusahaan tambang yang izinnya sudah tidak berlaku lagi.

Sianida impor tersebut kemudian didistribusikan ke sejumlah pihak atau pemasok yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia timur.

"Sebagian besar pemasok berada di Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Tengah," jelasnya.

Pihak kepolisian saat ini juga sedang menelusuri jaringan penerima sianida ilegal di daerah-daerah tersebut untuk pengembangan lebih lanjut.

 

Kronologi Pengungkapan Kasus

Kasus ini bermula dari informasi terkait dugaan perdagangan ilegal zat kimia sodium cyanide (sianida) oleh Direktur PT SHC, Steven Sinugroho, yang kemudian diungkap saat konferensi pers di Surabaya, Kamis lalu.

Pada 11 April 2025, aparat kepolisian melakukan penggeledahan di gudang PT SHC yang berada di Surabaya. Dari operasi tersebut, didapatkan informasi akan adanya pengiriman 10 kontainer sianida, yang akhirnya dialihkan ke gudang di Pasuruan setelah penggerebekan dilakukan.

Hasil penyidikan menunjukkan bahwa PT SHC menyimpan bahan berbahaya itu di dua lokasi berbeda.

Sejumlah saksi telah diperiksa, termasuk Steven yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka utama dalam perkara ini.

Modus yang digunakan adalah mengimpor sianida dari Tiongkok menggunakan dokumen perusahaan tambang emas yang sudah tidak beroperasi lagi. Kegiatan ini telah berlangsung sekitar satu tahun dengan volume impor mencapai 494,4 ton atau sekitar 9.888 drum.

"Awalnya bahan kimia tersebut digunakan untuk produksi internal perusahaan. Namun, selanjutnya diperdagangkan tanpa izin," jelas Brigjen Nunung.

Diduga, sianida tersebut dijual secara ilegal kepada penambang emas di sejumlah daerah di Indonesia.

Dalam proses distribusinya, drum berisi sianida dikirimkan tanpa label atau dikemas ulang menggunakan drum milik BUMN seperti PT PPI guna menyamarkan asal-usul barang.

Steven diketahui memiliki banyak pelanggan tetap, dengan jumlah pengiriman antara 100 hingga 200 drum dalam satu kali transaksi. Harga jualnya sekitar Rp6 juta per drum.

 Barang Bukti dan Ancaman Hukum

Dalam penggerebekan, polisi berhasil menyita ribuan drum sianida dari berbagai merek dan negara asal. Di antaranya, 1.092 drum putih dan 710 drum hitam produksi Hebei Chengxin Co. Ltd., Tiongkok. Selain itu, ditemukan juga ratusan drum tanpa label serta dari merek lain seperti Taekwang Ind. Co. Ltd. asal Korea dan PT Sarinah.

Di gudang Pasuruan sendiri ditemukan sebanyak 3.520 drum sianida bermerek Guangan Chengxin Chemical yang memiliki warna khas hijau telur asin.

Atas tindakan tersebut, Steven dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 8 ayat (1) huruf a, e, dan f juncto Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara atau denda hingga Rp2 miliar.***

 

Ilustrasi: Siobhan Howerton/Pexels