Loading...

Tarif Impor AS Naik, Ekonom Sarankan RI Tempuh Jalur Diplomasi

Guru Besar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Prof. Telisa Aulia Falianty, menyarankan agar Indonesia merespons kebijakan tarif masuk Amerika Serikat melalui jalur negosiasi, dibarengi dengan reformasi regulasi dalam negeri dan peningkatan daya saing produk ekspor nasional.

Menurut Telisa, upaya balasan berupa tarif tandingan justru berpotensi menimbulkan dampak negatif. Tindakan semacam itu bisa memperburuk hubungan dagang bilateral dan memicu efek berantai yang tidak menguntungkan bagi Indonesia.

“Langkah pembalasan berupa tarif justru bisa memperdalam tekanan terhadap ekspor kita. Jalan keluarnya adalah lewat dialog, pembenahan regulasi, dan perluasan pasar tujuan ekspor,” ujar Telisa dalam pernyataan resminya di Jakarta, Minggu.

Ia juga menyoroti kemungkinan terjadinya pengalihan arus perdagangan (trade diversion), terutama dari negara seperti Tiongkok yang menghadapi hambatan ekspor ke AS. Namun, menurutnya, Indonesia belum tentu menjadi destinasi utama dari peralihan tersebut.

Pasar alternatif bagi produk ekspor dari China biasanya lebih cenderung ke negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, atau Uni Eropa, meskipun Indonesia tetap menjadi salah satu opsi.

Dalam menghadapi kemungkinan lonjakan barang impor, Telisa menekankan pentingnya kesiapan pemerintah dalam memperkuat mekanisme perlindungan pasar dalam negeri. Namun, perlindungan tersebut harus tetap sejalan dengan aturan perdagangan internasional agar tidak dianggap sebagai bentuk diskriminasi.

Sebagai anggota aktif dalam forum seperti ASEAN, BRICS, dan G20, Indonesia dinilai perlu mengoptimalkan pendekatan diplomasi multilateral untuk menyikapi perkembangan kebijakan global. Meskipun Presiden AS Donald Trump lebih condong pada kesepakatan bilateral, kerja sama kawasan tetap diperlukan guna memperkuat posisi tawar Indonesia.

“Diplomasi multilateral tidak boleh ditinggalkan. Tapi di sisi lain, pemerintah juga harus menyiapkan strategi sektoral guna memperkuat industri dalam negeri,” tambahnya.

Komoditas seperti tekstil dan minyak sawit, yang masih memiliki pangsa pasar kuat di AS, dapat menjadi pintu masuk untuk menjaga keberlangsungan komunikasi dagang.

Telisa menambahkan bahwa keputusan Amerika Serikat untuk mengenakan tarif impor sebesar 32 persen terhadap produk asal Indonesia kemungkinan dipicu oleh dua isu utama: dugaan manipulasi nilai tukar dan penerapan hambatan non-tarif oleh pemerintah Indonesia.

“Kalau kita ingin tarif masuk ke pasar AS diturunkan, maka kita perlu membuktikan bahwa hambatan non-tarif sedang disederhanakan, dan bahwa tidak ada manipulasi nilai tukar,” jelas Telisa.***