Pembatasan kuota impor seperti diwacanakan pemerintah untuk melindungi pelaku UMKM dari praktek predatory pricing asing, justru bisa berpotensi merugikan UMKM itu sendiri. Hal itu disampaikan Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu.
"Meski didasari niat baik mendukung UMKM lokal, penggunaan instrumen seperti penetapan batas maksimal peredaran barang impor serta pembatasan transaksi lintas negara pada pasar digital justru dapat melukai bukan hanya konsumen, tetapi juga pelaku usaha eceran lokal apabila tidak disertai kemampuan membuktikan adanya praktik tarif predator," kata Thomas Dewaranu dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Menurut Thomas, kebijakan proteksionisme dan diskriminasi berlebihan terhadap produk asing justru dapat berdampak negatif, baik kepada konsumen maupun UMKM, khususnya para pedagang eceran yang mengandalkan pendapatan mereka pada penjualan produk impor.
Rencana pembatasan kuota barang impor itu sendiri, lanjutnya, rencananya akan dilakukan melalui merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha.
"Meskipun belum ada kepastian perihal pasal-pasal yang akan direvisi, terdapat indikasi bahwa perubahan akan dipusatkan pada isu hak kekayaan intelektual dan penetapan batas maksimal bagi produk asing yang diperdagangkan di pasar daring," ucapnya.
Ia berpendapat bahwa sebelum membahas opsi kebijakan yang tersedia, Kementerian Perdagangan bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu lebih dahulu memvalidasi isu tarif predator penjual asing yang menjadi dasar pertimbangan rencana revisi Permendag ini.
Hal tersebut, perlu dilakukan mengingat sangat sulit menentukan apakah harga jual murah sebuah produk disebabkan oleh praktik tarif predator atau memang karena sistem produksi yang efisien.
"Selain itu, perlu diingat bahwa produk lintas negara yang ditransaksikan secara daring juga telah dibebankan bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN). Jika sebelumnya terdapat kelonggaran bea masuk terhadap barang impor kiriman dengan nilai transaksi di bawah 75 dolar AS, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 199/PMK.010/2019 telah mempersempit akses fasilitas tersebut hanya untuk barang impor kiriman dengan nilai transaksi kurang dari 3 dolar AS," jelasnya.
Ia merekomendasikan agar perlindungan dan dukungan terhadap UMKM sebaiknya dilakukan melalui pencabutan ketentuan kewajiban memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUPMSE) yang terdapat dalam Permendag Nomor 50/2020.