Pandemi Covid-19 telah menimbulkan berbagai dampak di berbagai bidang. Salah satu yang menjadi polemik adalah dalam bidang usaha/bisnis dimana muncul pro-kontra terkait kontrak kerja/bisnis yang disepakati antara pihak. Lalu, apakah pandemi ini dapat dikatakan sebagai kondisi force majeure?
Menurut Prof. Nindyo Pramono, pandemi covid-19 yang dialami secara global ini dapat dikatakan sebagai force majeure. Terkait hal ini, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden No. 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional pada tanggal 13 April 2020.
“Orang tak pernah membayangkan bahwa kondisi ini akan menjadi pandemi global. Force majeure karena pandemi covid-19 ini adalah yang bersifat nisbi, erat kaitannya dengan situasi dan kondisi masing-masing debitur, bersifat kasuistik dan tak bisa digeneralisasi,” papar Prof. Nindyo Pramono dalam acara webinar arbitrase tematik melalui zoom yang diselenggarakan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANNI) dengan tema “Covid-19 : Peristiwa Force Majeure dan Penyelesaiannya melalui Arbitrase”
Menurut Prof. Nindyo, ada force majeure yang bersifat subyektif. Artinya, missal nanti covid-19 ini dapat diatasi maka perjanjian kontrak akan dihitung kembali. Debitur menggunakan pandemi ini sebagai alasan force majeure yang nisbi, berhak untuk tidak membayarkan ganti rugi tapi menunda pemenuhan prestasi. “Bisa menunda pemenuhan prestasi tapi varian sangat banyak.”
Prof Nindyo mencontohkan, sebuah kontrak proyek pembangunan, ketika awal dimulai lalu terjadi pandemi covid-19 sebagai situasi force majeure maka kontrak bisa gugur. “Boleh saja, asal disepakati oleh para pihak. Terbuka utk melakukan negosiasi. Covid-19 ini bukan absolut force majeure, boleh debitur mendalilkan diri sebagai force majeure tapi hanya untuk mendapatkan pengurangan untuk tidak dikatakan harus membayar ganti rugi atau melaksanaka prestasi untuk waktu yang sudah disepakati.”
Sebuah kontrak secara otomatis akan mengikat pihak-pihak yang tercantum di dalam kontrak tersebut. Baik itu berupa kontrak bisnis, kerja atau perjanjian lainnnya. Selanjutnya, kontrak tersebut harus dilaksanakan oleh para pihak dengan itikad baik.
Para pihak yang disebut di dalam kontrak, ada yang disebut dengan debitur dan kreditur. Para pihak secara timbal balik memiliki kewajiban masing-masing, yaitu melakukan prestasi. “Namun ada sedikit salah pemahaman dari teori mengenai persoalan force majeure dikaitkan dengan pandemi covid-19. Ini menjadi penting karena ada pemahaman yang keliru bahwa hak tentang force majeure itu dimiliki juga oleh kreditur. Hak dari force majeure itu milik debitur.”
Menurut pakar dari Universitas Gajah Mada ini, wujud prestasi itu ada tiga, memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Ketika kewajiban berprestasi dari para pihak, khususnya debitur, tidak dalam dilakukan tepat pada waktunya, maka bisa dijadikan wanprestasi. “Pihak kreditur membela diri tak mau dikatakan wanprestasi di antaranya dengan dalil adanya force majeure.”
Dalam keadaan memaksa yang bisa menyulitkan, peristiwa yang menyebabkan keadaan sulit, dalam praktek yurisprudensi masuk dalam kualifikasi dimana para pihak akan kembali pada keadaan seperti seolah-olah tidak ada perjanjian. Dalam KUH Perdata, kontrak menjadi gugur. Keadaan ini terjadi karena peristiwa yang tidak terduga diluar kesalahan debitur. “Kapan itu terjadi? Setelah kontrak ditutup, kemudian dalam perjalanan pelaksanaan kontrak ada peristiwa hukum yang tidak terduga, di luar kesalahan debitur, maka tak bisa dikatakan wanprestasi.
Jadi, lanjut Prof Nindyo, kondisi yang memaksa dan menyulitkan seperti pandemi ini adalah masalah risiko. Hal ini berkaitan dengan teori risiko. Jadi faktor kesalahan adalah terkiat dengan timbulnya suatu halangan. “Adakah kesalahan debitur, tidak bisa berprestasi. Halangan itu timbul apakah kesalahan debitur atau bukan. Jadi kesalahan harus dicari pada saat timbulya halangan.”
Yang perlu dipahami, kata Prof. Nindyo masalah force majeure terletak di dalam ajaran hukum perikatan. Sedangkan, akibat dari force majeure itu terhadap kewajiban kreditur adalah ajaran terkait dengan teori perjanjian. Maka,hak force majeure itu milik kreditur.”Tapi tak tepat force majeure ini terlebih pada ajaran hukum dalam perjanjian. Prestasi dan kontraprestasi itu kaitan force majeure. Debitur membela diri bahwa tak berprestasi karena adanya halangan yang berada di luar kekuasaan.”
Prof. Nindyo mencontohkan, seseorang memesan kamar di sebuah hotel. Namun, dalam perjalanan menuju hotel tersebut, seseorang yang disebut sebagai kreditur ini kecelakan di jalan. Akhirnya, ia tidak jadi check in. Pertanyaannya adalah apakah kecelakaan itu situasi force majeure atau bukan? Menurut Prof. Nindyo, secara teori itu bukan force majeure.
Perlu dipaham bahwa ketika sebagai debitur, ia dapat menggunakan dalil force majeure bisa membela diri bila ada gugatan wanprestasi. Jika debitur salah, ia wanprestasi dan menanggung kerugian. Jadi yang wajib menyebutkan adanya force majeure adalah debitur. “Harus dibuktikan, tak cukup debitur mengatakan salah tak bersalah. Tapi, ia harus membuktikan bahwa ada peristiwa yang menghalangi prestasi. Debitur tak punya kesalahan atas timbulnya halangan itu. Debitur sudah berupaya untuk berprestasi tapi ternyata tak bisa.” (Hilman)