PAGARBISNIS.COM - Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada tanggal 3-6 September 2024 dinilai bisa menjadi momentum penting untuk mengurangi ketimpangan sosial di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Teguh Dartanto, ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), karena Paus sangat peduli terhadap isu ketidaksetaraan, kemiskinan, dan kesenjangan di dunia.
Teguh menekankan bahwa ketimpangan adalah isu global yang juga menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Oleh karena itu, dia mengapresiasi kepedulian Paus terhadap masalah ini dan mendorong isu tersebut menjadi perhatian bersama.
Meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa indeks ketimpangan di Indonesia pada tahun 2024 berada di angka 0,379, yang dianggap moderat, Teguh menggarisbawahi perlunya analisis lebih mendalam terkait ketimpangan kepemilikan aset. Contohnya, sekitar 56 persen petani di Indonesia tergolong petani gurem dengan lahan rata-rata hanya 1.800 meter persegi, yang tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Sementara itu, sekitar 6 persen petani kaya menguasai lahan rata-rata seluas 5,4 hektare.
Selain ketimpangan kepemilikan tanah, Teguh juga menyoroti kesenjangan aset finansial. Berdasarkan penelitiannya, 98,2 persen dari 305 juta rekening di Indonesia hanya menguasai 14 persen total simpanan. Sebaliknya, hanya 0,03 persen rekening yang menguasai hampir separuh dari total simpanan di negara ini, dengan rata-rata saldo mencapai Rp5 miliar.
Kesenjangan lainnya terlihat dalam akses pendidikan berkualitas. Anak-anak di wilayah Jabodetabek memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk mendapatkan pendidikan bermutu dibandingkan dengan anak-anak di wilayah lain. Menurut Teguh, ketimpangan ini menjadi isu penting karena pendidikan berkualitas berperan dalam meningkatkan pengetahuan, aset, dan kekayaan di masa depan.
Ia menambahkan bahwa beberapa faktor telah memperburuk kesenjangan di Indonesia. Pertama, dampak pandemi COVID-19 yang memperlebar ketimpangan finansial, terutama di kalangan kelas menengah. Kedua, ketimpangan kesempatan seperti akses pendidikan dan digital, yang semakin membatasi peluang bagi masyarakat miskin untuk berkembang.
Teguh juga mengingatkan bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia kurang inklusif. Pertumbuhan ekonomi cenderung dinikmati oleh segelintir golongan ekonomi atas, sementara kelas menengah justru mengalami kesulitan. Hingga Agustus 2024, data BPS menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia menurun menjadi 47,85 juta orang, lebih rendah dibandingkan 57,33 juta pada tahun 2019.
Ia mengkhawatirkan terjadinya pembelahan sosial yang semakin lebar antara kelompok masyarakat miskin dan kaya, di mana kelas menengah semakin terpinggirkan. Teguh menekankan perlunya kebijakan yang fokus pada pemberian kesempatan yang setara bagi seluruh rakyat Indonesia agar ketimpangan dapat diatasi dan potensi anak-anak bangsa dapat dioptimalkan.***