Loading...

Ketahanan Pasar Domestik Indonesia di Tengah Gejolak Global

Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, menyampaikan bahwa di tengah meningkatnya ketegangan ekonomi global, pasar dalam negeri Indonesia masih memiliki kekuatan penopang yang solid.

Menurut Andry, faktor utama yang menjadi penyangga bagi perekonomian nasional adalah kestabilan permintaan domestik selama bulan Ramadhan serta kesiapsiagaan Bank Indonesia (BI) dalam menjaga nilai tukar rupiah melalui cadangan devisa yang mencukupi.

“Meski kondisi global tengah memanas, pasar domestik kita masih memiliki fondasi yang kuat, ditopang oleh stabilitas konsumsi masyarakat selama Ramadhan dan langkah intervensi dari BI,” ujar Andry.

Bank Indonesia diperkirakan akan tetap aktif di pasar keuangan demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yang diproyeksikan bergerak di kisaran Rp16.610 hingga Rp16.840 per dolar AS pada hari ini.

Pada penutupan perdagangan 26 Maret 2025, rupiah tercatat menguat tipis sebesar 0,12 persen ke level Rp16.560 per dolar AS. Namun secara kumulatif sejak awal tahun, mata uang Garuda telah melemah sekitar 2,84 persen. Penguatan menjelang masa libur panjang menunjukkan bahwa pelaku pasar masih optimistis terhadap fundamental ekonomi Indonesia.

Sementara itu, menjelang libur Lebaran, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil mencatatkan kenaikan 0,59 persen ke level 6.510,62. Dana asing pun masuk ke pasar dengan net buy sebesar Rp623,6 miliar.

Meski IHSG masih mengalami penurunan sebesar 8,04 persen secara tahunan (year to date), penguatan menjelang liburan mengindikasikan bahwa investor masih menaruh harapan terhadap prospek jangka menengah pasar modal Indonesia.

Di pasar surat utang, yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun dalam rupiah turun cukup tajam sebesar 12,2 basis poin menjadi 7 persen. Sementara itu, obligasi pemerintah dalam denominasi dolar AS justru mengalami kenaikan ringan menjadi 5,32 persen.

Walaupun situasi global tengah diliputi ketidakpastian, pembukaan kembali pasar Indonesia pada hari Selasa (8/4) membawa optimisme baru. Dengan kebijakan moneter yang adaptif serta fondasi ekonomi domestik yang relatif stabil, Indonesia diyakini mampu menjaga keseimbangan dan bahkan mendapatkan keuntungan dari pergeseran arah perdagangan global.

“Ketika dunia sedang berada dalam bayang-bayang ketidakpastian, justru fleksibilitas dan daya tahan ekonomi domestik menjadi keunggulan utama Indonesia di mata investor,” kata Andry.

Pasca libur panjang, pasar keuangan Indonesia dibuka kembali dengan sentimen positif, meski harus menghadapi tantangan eksternal berupa meningkatnya tensi perdagangan global. Investor lokal kini tengah mencermati pergerakan pasar menyusul gejolak di pasar saham global.

Salah satu pemicu ketidakstabilan global adalah pengumuman Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengenai kebijakan tarif impor baru. Trump menetapkan tarif dasar sebesar 10 persen untuk semua impor, dan tarif lebih tinggi bagi beberapa negara seperti China (34 persen), Vietnam (46 persen), dan Uni Eropa (20 persen).

Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan pecahnya perang dagang baru yang dapat memicu kenaikan inflasi global dan mendorong lonjakan yield obligasi.

Tanggapan dari negara-negara mitra perdagangan pun beragam. China membalas dengan menetapkan tarif 34 persen untuk seluruh impor dari AS mulai 10 April. Sebaliknya, Vietnam memilih jalur diplomatik yang berbeda.

Ketegangan semakin meningkat setelah Trump mengancam akan menaikkan tarif menjadi 50 persen terhadap produk-produk asal China jika negara tersebut tidak segera mencabut kebijakan balasannya sebelum 8 April. Situasi ini memicu volatilitas di pasar global, namun juga menciptakan peluang strategis bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk menyesuaikan peta perdagangan mereka.

Pasar saham AS sendiri mengalami penurunan pada Jumat (7/4), di mana indeks Dow Jones melemah 0,91 persen dan S&P 500 turun 0,23 persen, seiring meningkatnya kekhawatiran investor terhadap risiko perang dagang yang kian memanas.

Kini para pelaku pasar global tengah menantikan sejumlah rilis data ekonomi penting pekan ini, terutama data inflasi konsumen (CPI) AS untuk bulan Maret yang diperkirakan mencapai 2,6 persen secara tahunan, serta inflasi inti yang diproyeksi berada di level 3 persen.***