Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang menyusun peraturan baru terkait pengamanan perdagangan untuk membatasi arus impor pakaian jadi. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu, menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya kolaboratif antar-kementerian guna melindungi industri pakaian lokal dari dampak persaingan produk impor yang semakin meningkat.
Febrio mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut sedang disiapkan dengan koordinasi bersama Kementerian/Lembaga terkait, dengan arahan dari Menko Perekonomian. Tujuannya agar perlindungan terhadap industri pakaian lokal dapat segera diterapkan.
Langkah ini juga merespons notifikasi Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) yang dimulai pada 7 November 2024, mengenai penyelidikan perpanjangan tindakan pengamanan perdagangan (TPP) terhadap impor pakaian dan aksesori dari beberapa negara.
Pakaian jadi, menurut Febrio, merupakan sektor yang sangat penting karena menciptakan lapangan pekerjaan bagi jutaan orang, baik di bagian hulu maupun hilir industri. Oleh karena itu, langkah pengamanan perdagangan seperti tarif bea masuk dianggap perlu untuk menjaga kelangsungan sektor ini. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah banjirnya produk murah dari negara seperti China, yang semakin mempersulit daya saing produk lokal.
Sementara itu, menurut siaran pers KPPI pada 7 November, penyelidikan TPP ini dilakukan setelah adanya permohonan dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yang mewakili industri domestik. Permohonan ini mencakup 131 nomor Harmonized System (HS) untuk produk pakaian sesuai dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2022.
Keputusan untuk memulai penyelidikan perpanjangan ini juga berdasarkan penilaian pemerintah mengenai kepentingan nasional, yang melihat adanya kerugian serius yang dihadapi oleh industri lokal, serta perlunya waktu tambahan untuk menyesuaikan struktur industri.
Berdasarkan data KPPI, impor utama pakaian berasal dari China (35,27%), Bangladesh (16,11%), Singapura (9,25%), Vietnam (9,08%), Turki (5,82%), Kamboja (5,08%), India (4,79%), dan Maroko (3,31%). Pangsa impor dari negara berkembang lainnya tercatat masih di bawah 3% dari total impor sepanjang 2023.