Pemerintah diwajibkan membayar lebih dari Rp800 miliar usai dinyatakan kalah dalam gugatan arbitrase internasional pada 2019. Gugatan tersebut diajukan perusahaan operator satelit yang bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan saat dipimpin Ryamizard Ryacudu.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai adanya pelanggaran hukum dalam proyek satelit tersebut. "Dugaan pelanggaran terkait proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) pada tahun 2015," kata Mahfud dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (13/1).
Dua perusahaan operator satelit yakni Navayo dan Artemis menang atas gugatan arbitrase internasional. Keduanya melayangkan gugatan dengan tudingan pemerintah Indonesia wanprestasi karena tak memenuhi kewajiban membayar sewa satelit yang ditempatkan di slot orbit 123 derajat bujur timur.
Mahfud menjelaskan, pemerintah baru saja menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan perusahaan satelit Navayo. Putusan itu menyatakan bahwa pemerintah diharuskan membayar US$ 20,9 juta dolar."Kewajiban yang US$ 20 juta ini nilainya mencapai Rp 304 miliar," kata dia.
Sebelumnya, RI juga kalah dalam gugatan arbitrase yang dilayangkan perusahaan operator satelit asal Inggris, Avanti Communications Group. Sejak 2017, Avanti melayangkan gugatan dengan tudingan pemerintah Indonesia wanprestasi karena belum memenuhi kewajiban membayar sewa satelit L-band Artemis.
Mahfud mengatakan hasil keputusan arbitrase terbit tersebut pada 9 Juli 2019. "Pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar," ujarnya.
Besarnya kerugian akibat proyek satelit tersebut, Mahfud meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut perkara tersebut. Jaksa Agung ST Burhanuddin pun mengatakan perkara ini segera naik ke penyidikan.
"Kami telah melakukan penelitian dan pendalaman atas kasus ini sudah hampir mengerucut. Insya Allah dalam waktu dekat naik penyidikan," kata Burhanuddin.
Mahfud menjelaskan kasus ini bermula pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Untuk mengisi kekosongan pengelolaan slot orbit 123 derajat BT itu, kata Mahfud, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015. Meskipun, persetujuan penggunaan slot orbit 123 derajat BT dari Kominfo baru diterbitkan pada 29 Januari 2016.
Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemenhan belum memiliki anggaran untuk membiayai sewa satelit. "Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," ujar Mahfud.
Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016. Padahal anggarannya pada 2015 belum tersedia. Sedangkan di tahun 2016, anggaran telah tersedia, namun dilakukan "self blocking" oleh Kemenhan.