Pemerintah Indonesia memilih jalur negosiasi untuk merespons kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS), alih-alih langsung menerapkan tarif balasan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa pemerintah mengedepankan pendekatan diplomatik guna merumuskan solusi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
“Kita diberikan tenggat waktu yang cukup singkat, yaitu hingga 9 April, untuk menyampaikan respons. Pemerintah tengah menyusun rencana aksi yang mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk nilai impor dan investasi dari AS,” ungkap Airlangga dalam rapat koordinasi terbatas lanjutan yang digelar secara virtual pada Minggu di Jakarta.
Pendekatan ini didasari pada pertimbangan menjaga hubungan bilateral jangka panjang di bidang perdagangan, serta menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menjaga kestabilan ekonomi nasional.
Pemerintah juga mencermati dampak yang mungkin timbul dari kebijakan tarif ini terhadap sejumlah sektor industri ekspor padat karya, seperti industri tekstil, pakaian, dan alas kaki.
Sektor-sektor tersebut dinilai sangat rentan terhadap perubahan kondisi pasar global. Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen untuk terus memberikan dukungan melalui insentif yang tepat sasaran guna menjaga daya saing dan keberlanjutan industri nasional.
Adapun kebijakan tarif resiprokal dari AS ini direncanakan mulai berlaku pada 9 April 2025.
Beberapa kategori produk tidak akan terdampak oleh kebijakan ini, di antaranya barang-barang yang dikecualikan berdasarkan 50 USC 1702(b) seperti produk medis dan bantuan kemanusiaan, serta produk-produk yang telah dikenai tarif di bawah ketentuan Section 232 seperti baja, aluminium, kendaraan bermotor beserta komponen-komponennya. Selain itu, sejumlah komoditas strategis seperti tembaga, semikonduktor, produk farmasi, kayu, logam mulia, serta energi dan mineral yang tidak tersedia di AS juga termasuk dalam daftar pengecualian.
Pemerintah juga terus menjalin komunikasi dengan pemangku kepentingan, termasuk asosiasi pengusaha, untuk memastikan aspirasi dan kepentingan pelaku industri dalam negeri turut menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan strategi kebijakan.
Analisis mendalam terus dilakukan terhadap dampak fiskal yang mungkin timbul dari berbagai kebijakan yang sedang dipertimbangkan, agar setiap langkah tetap sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan tidak membebani APBN dalam jangka menengah hingga panjang.
“Situasinya masih berkembang dan perlu pembentukan kelompok kerja yang terus aktif bekerja. Presiden telah meminta agar kita menyampaikan surat resmi sebelum 9 April 2025. Saat ini, tim teknis tengah bekerja dalam kerangka deregulasi sebagai tindak lanjut dari hasil Sidang Kabinet pada bulan Maret lalu,” jelas Airlangga.
Pemerintah juga akan menyelenggarakan forum sosialisasi sekaligus menjaring masukan dari kalangan industri mengenai dampak dari kebijakan tarif AS.
Forum tersebut dijadwalkan berlangsung pada Senin (7/4), dan bertujuan untuk merumuskan strategi yang inklusif serta responsif terhadap kebutuhan pelaku usaha.
“Seluruh pelaku industri akan diundang esok hari untuk memberikan masukan, terutama berkaitan dengan ekspor dan hal-hal penting lainnya yang perlu kita jaga, khususnya di sektor padat karya,” ujar Airlangga.
Lebih lanjut, pemerintah juga tengah mempersiapkan strategi guna memanfaatkan peluang dari terbukanya akses pasar Eropa, yang dinilai sangat penting mengingat kawasan tersebut merupakan pasar terbesar kedua setelah China dan AS.
“Kita akan dorong ini juga, supaya Indonesia memiliki alternatif pasar ekspor yang lebih luas,” tambahnya.
Dalam rapat koordinasi terbatas tersebut, hadir pula sejumlah pejabat penting negara, antara lain Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Investasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani, Menteri Perdagangan Budi Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, serta beberapa wakil menteri dan perwakilan dari kementerian/lembaga terkait lainnya.***