Sekar Utami, ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menyoroti pentingnya percepatan upaya diversifikasi pasar ekspor guna merespons ketidakpastian global yang ditimbulkan oleh perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Menurut Sekar, ketergantungan sektor manufaktur Indonesia terhadap pasar ekspor utama seperti AS dan China membuat sektor tersebut rentan terhadap guncangan, seperti perubahan tarif maupun penurunan permintaan dari kedua negara tersebut.
"Jika terjadi perubahan kebijakan atau pelemahan pasar di negara-negara utama, dampaknya sangat terasa bagi pelaku industri kita," ujarnya dalam pernyataan yang disampaikan di Yogyakarta, Selasa.
Ia menjelaskan bahwa eskalasi ketegangan perdagangan antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut telah meningkatkan risiko perlambatan dalam perdagangan global, yang secara langsung berdampak negatif pada ekspor Indonesia.
Sektor industri yang paling terdampak, lanjut Sekar, adalah manufaktur berbasis ekspor seperti produk tekstil, alas kaki, dan elektronik, serta sektor komoditas utama termasuk kelapa sawit, karet, dan hasil perikanan.
Tingginya ketergantungan terhadap pasar ekspor konvensional membuat para pelaku usaha dalam negeri kurang luwes dalam menghadapi dinamika ekonomi global.
Untuk mengatasi kerentanan tersebut, Sekar mendorong pemerintah agar mempercepat penetrasi pasar ekspor baru di wilayah Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika.
Ia menekankan bahwa perluasan pasar ini sangat penting agar ekspor nasional tidak terlalu terpapar dampak dari kebijakan dagang negara mitra utama.
Lebih lanjut, Sekar mengusulkan pemberian stimulus fiskal bagi sektor ekspor, penyederhanaan akses pembiayaan, serta peningkatan mutu dan efisiensi sistem logistik nasional, guna mendongkrak daya saing produk Indonesia di kancah internasional.
“Dukungan teknis dan promosi untuk UMKM juga sangat diperlukan agar semakin banyak eksportir baru yang mampu bertahan menghadapi fluktuasi global,” tambahnya.
Sekar juga menggarisbawahi bahwa kolaborasi antara pemerintah dan Bank Indonesia sangat vital dalam mengelola kondisi ekonomi nasional yang saat ini tengah diliputi ketidakpastian.
Dari sisi kebijakan moneter, BI perlu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui penyesuaian suku bunga dan intervensi strategis di pasar valuta asing serta surat berharga.
Sementara itu, pemerintah perlu mempertimbangkan pengalihan anggaran ke sektor-sektor yang paling terdampak oleh konflik dagang internasional, seperti industri manufaktur ekspor, pertanian, dan infrastruktur logistik.
"Meski prospek ekonomi dan perbankan nasional masih terbilang positif, kewaspadaan tetap diperlukan mengingat tantangan eksternal dan domestik belum sepenuhnya mereda. Oleh karena itu, koordinasi antara kebijakan fiskal, moneter, serta kebijakan makro dan mikroprudensial harus diperkuat agar ekonomi Indonesia tetap tangguh," tegas Sekar.***