Polres Metro Bekasi mengungkap bahwa salah satu bahan yang dipakai dalam pembuatan kosmetik palsu berlabel "GlowGlowing" adalah tepung tapioka.
“Bahan yang digunakan termasuk tepung tapioka serta zat lain yang tidak jelas kandungannya untuk meniru produk perawatan kulit tersebut,” ujar Kapolres Metro Bekasi, Kombes Pol Mustofa saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Menurut Mustofa, pelaku utama berinisial SP, yang juga pemilik bisnis tersebut, diketahui tidak memiliki latar belakang pendidikan atau pengetahuan khusus mengenai dunia kosmetik. “Dia hanya belajar dari YouTube dan meracik sendiri tanpa dasar ilmu yang memadai,” katanya.
Mustofa menambahkan bahwa SP sebelumnya dikenal sebagai penjual online. “Ia mengaku mulai menjual produk perawatan kulit karena terinspirasi dari aktivitas jualannya di dunia maya. Ia sendiri yang mengatur aliran dana, sementara para pekerjanya hanya bertugas membungkus barang,” jelasnya.
Para pekerja yang dipekerjakan SP berjumlah tujuh orang dan digaji sekitar Rp1,5 juta hingga Rp2 juta setiap bulan.
Pihak kepolisian mengamankan delapan tersangka yang terlibat dalam praktik pemalsuan produk kosmetik tersebut. Proses produksi ilegal dilakukan di sebuah rumah di kawasan Perumahan Pondok Ungu Permai, Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
“Kami menetapkan delapan orang sebagai tersangka, termasuk SP sebagai pemilik usaha dan tujuh karyawannya, yaitu ES, DI, IG, S, AS, UH, dan RP,” kata Mustofa di Cikarang, Senin (26/5).
Ia menjelaskan bahwa para pelaku sengaja meniru merek yang sudah populer di pasaran agar produk cepat laku dan menghasilkan keuntungan besar dalam waktu singkat.
“Mereka memasarkan kosmetik tanpa izin edar yang sah dan menggunakan merek yang sudah dikenal supaya lebih cepat diminati oleh konsumen,” jelasnya lagi.
Produk tiruan ini dipasarkan melalui sejumlah platform e-commerce besar seperti Shopee dan Lazada, dengan harga antara Rp50.000 hingga Rp150.000 per paket. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan produk asli yang dijual dengan kisaran Rp150.000 sampai Rp300.000.
Akibat perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 435 dan 436 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek, serta Pasal 55 KUHP. Mereka terancam hukuman penjara maksimal 12 tahun dan denda hingga Rp5 miliar.
Ilustrasi: Pexels/ Dan Cristian Pădureț