Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengidentifikasi dua metode baru yang digunakan untuk menyebarluaskan kosmetik ilegal dan berbahaya tanpa izin edar. Produk-produk ini umumnya dipasarkan melalui platform media sosial dan toko daring.
“Salah satu modus yang ditemukan adalah pencantuman nomor izin edar palsu. Produk tersebut seolah-olah berasal dari pabrik resmi, padahal dibuat oleh pihak lain yang meniru produk aslinya, kemudian dipasarkan secara massal,” ungkap Kepala BPOM, Taruna Ikrar, dalam konferensi pers di Kantor BPOM, Jakarta, Jumat.
Modus lainnya melibatkan penggunaan etiket biru untuk mengelabui konsumen. Berdasarkan temuan BPOM, 60 persen produk ilegal ini merupakan produk impor.
“Etiket biru digunakan tanpa izin edar (TIE) sebagai strategi untuk menyesatkan konsumen, dan kami akan menindak tegas praktik semacam ini,” tegas Taruna.
Dari hasil intensifikasi pengawasan produk yang dilakukan pada 10 hingga 18 Februari 2025, BPOM menemukan bahwa Kota Yogyakarta mencatat nilai temuan tertinggi, yakni Rp11,2 miliar, diikuti oleh Jakarta dengan Rp10,3 miliar, Bogor lebih dari Rp4,8 miliar, Palembang Rp1,7 miliar, dan Makassar Rp1,3 miliar.
Secara keseluruhan, BPOM mengidentifikasi 91 merek produk ilegal, mayoritas merupakan produk impor. Produk-produk ini mencakup 4.334 item dengan total 205.133 unit, yang ditaksir memiliki nilai ekonomi lebih dari Rp31,7 miliar.
Dari 91 merek yang terungkap, sebanyak 17,4 persen mengandung bahan berbahaya, termasuk produk perawatan kulit beretiket biru yang tidak memenuhi ketentuan. Sebanyak 79,9 persen produk tidak memiliki izin edar, 0,1 persen merupakan produk injeksi kecantikan, dan 2,6 persen adalah produk yang sudah kedaluwarsa.
BPOM menegaskan komitmennya untuk terus meningkatkan pengawasan dan menindak para pelaku, bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk kepolisian.
"Kami terus memantau aktivitas di media sosial meskipun ada keterbatasan anggaran, dan akan tetap berupaya maksimal dalam memberantas peredaran kosmetik ilegal," ujar Taruna.
Sejumlah kasus yang terungkap di Bogor, Makassar, Manado, dan Rejang Lebong akan diproses secara projusticia karena mengandung unsur pidana. Sementara itu, kasus lainnya akan dikenakan sanksi administratif, seperti perintah penarikan produk, pemusnahan, pencabutan izin edar, serta penghentian sementara kegiatan usaha.