Bank Indonesia (BI) memperkirakan bahwa ekonomi global akan tumbuh 3,1 persen pada tahun 2025, sedikit lebih rendah dibandingkan prediksi sebelumnya yang mengharapkan angka pertumbuhan 3,2 persen. Perkiraan ini dipengaruhi oleh dinamika politik dan ekonomi di Amerika Serikat (AS), khususnya terkait hasil Pemilu AS.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyampaikan dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) November 2024 bahwa BI sedang memantau dan menganalisis situasi politik di AS, terutama dengan terpilihnya Donald Trump kembali sebagai presiden. Ada lima hal yang perlu dicermati terkait hal ini: kebijakan ekonomi yang lebih berorientasi pada kepentingan domestik, fragmentasi perdagangan, penurunan inflasi yang lebih lambat, membesarnya defisit fiskal AS, dan perubahan preferensi investor global yang cenderung kembali mengalir ke AS.
Kebijakan "inward looking" yang mungkin diterapkan oleh pemerintah AS mengarah pada peningkatan tarif perdagangan, terutama terhadap negara-negara dengan surplus perdagangan besar, seperti China, Uni Eropa, Meksiko, dan Vietnam. Pengenaan tarif perdagangan tinggi ini diperkirakan akan mulai berlaku pada paruh kedua tahun 2025 dan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global, terutama di negara-negara yang terkena dampak tarif tersebut.
Selain itu, jika penurunan inflasi di AS lebih lambat dari perkiraan, ruang untuk penurunan suku bunga acuan The Fed (FFR) akan terbatas. BI memperkirakan FFR akan turun sebesar 25 basis poin pada Desember 2024, namun proyeksi pemangkasan suku bunga untuk 2025 diturunkan dari sebelumnya 75-100 basis poin menjadi hanya 50 basis poin.
Proyeksi defisit fiskal AS juga diperkirakan akan melebar menjadi 7,7 persen dari PDB pada 2025, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Hal ini kemungkinan akan mendorong peningkatan utang pemerintah AS dan menyebabkan imbal hasil (yield) surat utang AS, seperti US Treasury, naik, baik yang jangka pendek maupun jangka panjang. Yield US Treasury untuk tenor 2 tahun diperkirakan akan naik menjadi 4,5 persen, sementara untuk tenor 10 tahun bisa mencapai 4,7 persen.
Dengan meningkatnya yield US Treasury, aliran investasi portofolio ke AS diperkirakan akan meningkat, yang dapat memperkuat nilai dolar AS dan memberi dampak terhadap mata uang negara-negara berkembang.