Bank Indonesia (BI) mengonfirmasi bahwa uang palsu yang ditemukan di wilayah Gowa, Makassar, Sulawesi Selatan, memiliki kualitas sangat rendah. Uang palsu tersebut mudah dikenali secara kasat mata melalui metode 3D (dilihat, diraba, diterawang).
Penilaian ini didasarkan pada hasil analisis BI terhadap sampel barang bukti. Menurut BI, uang palsu tersebut dicetak menggunakan teknologi cetak sederhana, yakni printer inkjet dan sablon biasa, tanpa menggunakan teknik cetak offset sebagaimana diberitakan sebelumnya.
"Temuan ini juga sesuai dengan barang bukti mesin cetak yang ditemukan oleh pihak kepolisian. Mesin tersebut hanyalah mesin percetakan biasa dan tidak termasuk kategori mesin khusus untuk mencetak uang," jelas Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI, Marlison Hakim, di Jakarta, Selasa.
Marlison juga menambahkan bahwa tidak ada elemen pengaman uang asli yang berhasil dipalsukan, seperti benang pengaman, watermark, electrotype, dan gambar UV. Semua elemen tersebut hanya digantikan dengan cetakan sablon biasa menggunakan kertas non-standar.
"Uang palsu yang ditemukan juga menunjukkan pendaran di bawah lampu ultraviolet yang kualitasnya sangat rendah, berbeda dari segi lokasi, warna, dan bentuk dibandingkan uang asli," tambahnya.
Ia pun menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir untuk tetap menggunakan uang tunai dalam transaksi. Namun, masyarakat tetap diimbau berhati-hati dan memeriksa keaslian uang menggunakan metode 3D, yang panduannya dapat dilihat di situs resmi BI, www.bi.go.id.
Terkait dugaan sertifikat palsu Surat Berharga Negara (SBN) dan Deposito BI yang ditemukan oleh Polres Gowa, Marlison menegaskan bahwa Bank Indonesia tidak pernah menerbitkan sertifikat deposito. Selain itu, SBN bersifat tanpa warkat (scripless), sehingga kepemilikannya dicatat secara elektronik, bukan melalui dokumen fisik.
Data BI menunjukkan tren penurunan kasus uang palsu dalam beberapa tahun terakhir, didukung oleh peningkatan kualitas uang melalui bahan, teknologi cetak, dan elemen pengaman yang semakin canggih. Selain itu, edukasi terkait keaslian uang juga terus digalakkan bersama Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (Botasupal).
Sepanjang tahun 2024, rasio uang palsu tercatat hanya 4 ppm (lembar per juta uang yang beredar), menurun dari 5 ppm pada 2022 dan 2023, 7 ppm pada 2021, serta 9 ppm pada 2020.
BI juga mengingatkan bahwa uang palsu bukanlah alat pembayaran yang sah dan tidak memiliki nilai. Berdasarkan Pasal 36 UU Mata Uang, pelaku pemalsuan rupiah dapat dikenai hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar. Sementara itu, pihak yang mengedarkan atau menggunakan uang palsu dengan kesadaran penuh dapat dipidana hingga 15 tahun dan didenda hingga Rp50 miliar.
Sebagai langkah preventif, BI terus memperkuat kualitas desain rupiah agar lebih mudah dikenali dan sulit dipalsukan. Selain itu, kampanye nasional bertema "Cinta, Bangga, Paham Rupiah" juga terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.